Babak Baru

Riza Putri
2 min readMay 22, 2023

Mei. Dulu bulan ini tak ada artinya. Sebetulnya sekarang juga masih tak berarti seperti keset tamu di depan pintu rumah nenek. Hanya bulan biasa. Tak ada yang berbeda. Apalagi laki-laki malang yang lahir di bulan ini. Elok parasnya tapi hati dan egonya selalu lapar. Mei tahun ini membuat saya banyak berefleksi. Meneropong jauh ke sudut-sudut yang familiar hingga pada friksi yang paling menyebalkan. Saya lebih bodoh dari badut bodoh layaknya Armin saat memerankan Bard.

Tuhan maha baik. Mendadak baskara terik. Hujan dan petir sekongkol untuk minggat. Babak baru di mulai.

Wira itu berlabuh dengan kerah kakunya. Di sakunya ada sapu tangan yang digunakan untuk mengelap bulir dosanya. Sajadahnya tergelar rapih tanpa sudut yang terlipat, di tengahnya ada Kakbah dengan ornamen ketuhanan yang kalau hari Jumat dipakai jadi jubah untuk khotbah di warung-warung kafir terdekat. Katanya sih bukan untuk mengumpulkan pahala, tapi diam-diam sambil berobat jalan. Bertemulah dengan konselor amatiran yang hobinya membaca dan jadi peramal tapi kalau malam ia meringis kesakitan dari luka-luka dan jahitan di tubuhnya.

Siapa sangka seorang konselor amatiran punya luka dan jahitan lebih banyak dari tentara yang memerangi gerakan separatis. Kadang ia mengiba pada nasibnya yang diselingi dengan kekehan kecut. Dari sekian banyak luka, ia sendiri yang jadi pelakunya. Mau saja ditipu kelakar tak lucu dari penjahat ikan teri. Mungkin karena pikirannya naif, tak pernah dapat ajaran yang sesuai dengan jiwanya.

Ajaran ortodoks yang jadi kunci iman keluarganya pun ia resapi. Meski seringkali berkontra dengan nalar tapi ego nya tak lapar bak lambung yang mengais nasi. Pertemuan sang wira si jubah Kakbah berhasil menggelitik sel-sel hippocampus. Meski begitu ia sadar bahwa soneta atau drama klasik Shakespear pun punya akhir tragikomedi yang khas. Begitu pun babak baru ini yang juga masih penuh spekulasi. Wakil-wakil negara juga lagi asik ngeteh di tugu jam gede jasa sambil sesekali menyemil roti unyil dan galendo. Sudah ditetapkan cermin akan jadi maharnya. Tak ada plot definitif yang jadi acuan. Alusi komtemporer juga tak mampu menguraikan. Biar lah jadi tabir yang diungkap mesra oleh sang Kuasa.

With love,
R

--

--

Riza Putri

hi, welcome to my thinking space ✨ the only safe haven for me to untangle the wires about roller coaster of life, psychology, work, and especially about love.