Malang

Riza Putri
2 min readFeb 25, 2019

--

Saat ini saya sedang berada di ketinggian >30.000 m. Di dalam pesawat yang sedang melaju kencang mengantarkan saya kembali ke kota yang menyimpan berjuta cerita di dalamnya untuk menghadiri wisuda saya hari Sabtu ini.

Ah, Malang…

Kota yang membuka lebar tangannya menyambut saya sejak pertama kali saya menginjakkan kaki disana. Hawa sejuk malam yang dibalas dengan kehangatan matahari pagi, diiringi juga dengan deretan kedai kopi yang siap untuk dipilih sambil menemani kala rinai hujan rindu di sore hari.

Awalnya memang tidak mudah untuk beradaptasi, terutama karena faktor adat dan budaya yang cukup berbeda dari kota asal saya, Jakarta. Terkesan berlebihan, namun saya justru merasa memiliki hubungan yang lebih intim dan menyatu dengan Malang ketimbang Jakarta.

“Kenapa?”

Hmm, di Malang semua terasa dekat. Ya, kemana-mana mudah, tak perlu repot-repot antre panjang untuk tempelkan kartu supaya bisa naik kereta atau bus, karena jalan kaki pun bisa jadi opsi yang menarik. Bebas tengok kiri kanan sambil pilih menu makanan dan menikmati hiruk pikuk mahasiswa diseluruh sudut keramaian. Nasi campur Bu Marni, nasi goreng Griya Shanta, lalapan RRI, bakso Solo Kidul Pasar, cilok gerbang fapet, warkop DKI, apa saja ada tinggal pilih mau yang mana. Harga yang ditawarkan pun bersahabat, punya duit 5000 rupiah pun masih bisa ikut nongkrong lepas penat.

Bukan cuma jarak tempat saja yang jadi daya tarik Malang. Jarak relasi pun juga somehow jadi magnet perekat. Six degrees of separation. Dunia sempit. Wah you name it deh. Malang membuatmu semakin tersadar kalau dunia isinya ya itu-itu saja.

Dan di Malang, saya jadi punya banyak pengalaman, tentunya dari hasil eksplor dan diskusi sana sini. Bertemu dan berkenalan dengan banyak orang dari latar belakang yang berbeda banyak memberikan saya pencerahan.

Exchanging stories with people from different backgrounds is an eye-opener, so we don’t justify our beliefs to be the only thing that’s true.

Saya banyak belajar tentang nilai kualitas dibanding kuantitas; tak perlu gocek isi kantong banyak-banyak untuk bisa kumpul bareng teman, tak perlu pusing memikirkan uang bensin atau harga ojek online, karena jarak yang ditempuh dan kemacetan lalu lintas tidak akan jadi penghambat besar aktivitas mu. Ya, kecuali hujan deras nan awet sehabis dzuhur.

Kalau kata orang masa SMA itu adalah masa paling menyenangkan dan punya banyak cerita, tapi justru bagi saya masa kuliah dan masa merantau saya lah yang chapternya paling berkesan. Self-discovery at its best. No regrets, just lessons.

Sedih sekali kemarin belum sempat mengucap pamit kepada Malang. Mungkin memang romannya saya belum benar-benar direlakan pergi. Kalau gitu tunggu saya di kesempatan berikutnya lagi ya Malang. Bucket list saya juga masih belum selesai nih.

Jaga diri baik-baik dulu ya, kalau ada waktu akan saya kunjungi lagi :)

With love,
R

--

--

Riza Putri
Riza Putri

Written by Riza Putri

Neither a bard nor a novelist. Crafting stories from the fragments of the mundane. Just a lover of the written word in its freest form.

No responses yet