Quarter-Life Crisis

Riza Putri
4 min readApr 6, 2019

--

Sekitar beberapa bulan yang lalu saya sempat membuat suatu survey kecil-kecilan di akun Instagram pribadi saya. Survey yang di dasari oleh kegundahan saya akan problematika hidup yang saat ini sedang terjadi di hidup saya. Dimana pertanyaan-pernyataan paradoks terus-menerus singgah, “who am I?”, “why am I doing all of this?”, “what do I really want?”.

Tidak penting seberapa banyak artikel, buku dan TEDTalks, pikiran dan perasaan saya masih tetap tidak bisa tenang. Kalau jaman nge-kos dulu, mungkin saya akan langsung datang ke kamar teman saya Utti atau Chintia, atau menelpon teman saya yang lain seperti Aucang, Bila, dll untuk mengajak mereka berdiskusi tentang hal ini.

…kenyataannya ini bukan Malang dan saya bukan mahasiswi lagi. Jakarta, membuat segalanya terasa jauh.

—Jadi, itu lah dia alasan singkat kenapa saya membuat survey, untuk mencari teman diskusi yang relate dengan kondisi saya saat ini. Survey itu saya buat teruntuk “close friends” saya, dimana saya mengajak mereka untuk memilih prioritas mana yang menurut mereka lebih penting atau yang di fokus kan di usia mereka saat ini. Orang-orang yang masuk ke close friends saya memang orang-orang yang sudah saya kurasikan dengan rapih berisi segelintir teman-teman terdekat yang umurnya masih terbilang sebaya dengan saya, yaitu sekitar 20–25 tahun.

Waktu itu survey saya berbentuk polling, terbagi kedalam 2 pilihan kelompok antara lain: Keluarga, pacar, teman (Relationship-oriented) dengan pendidikan & pekerjaan (Achievement-oriented). Kedua kelompok pilihan tersebut tidak terbatas dan saya membebaskan teman-teman saya untuk memberikan feedback di kolom reply jika mereka memiliki jawaban yang lain.

And like a well-educated person, I made a hypothesis:

Ha: Terdapat jawaban yang imbang antara “Relationship-oriented” dengan “Achievement-oriented”

Ho: Tidak terdapat jawaban yang imbang antara “Relationship Orientation” dengan “Achievement Orientation”

Polling pun ditutup dan hasilnya adalah, Ha diterima! *pat myself on the back*

Dari survey tersebut, didapat hasil 50:50 dimana 50% dari jumlah populasi responden menjawab dengan Achievement Orientation dan 50% nya lagi menjawab dengan Relationship Orientation.

Responden yang memilih jawaban Achievement-oriented beralasan karena mereka ingin menata hidup mereka dimulai dari kemapanan secara wawasan dan finansial. Uang merupakan pondasi yang cukup penting untuk membangun kelancaran goals lain kedepannya.

Sementara itu, responden yang lebih memilih Relationship-oriented beranggapan bahwa kita sudah menginjak usia yang cukup dewasa untuk lebih berfokus pada menjaga kerekatan hubungan dengan orang-orang terkasih. Beberapa dari mereka juga berpendapat bahwa urusan pekerjaan memang merupakan suatu kewajiban yang harus ditempuh tapi bukan berarti menjadi prioritas utama karena rezeki pasti mengalir dengan sendirinya.

Dalam proses diskusi tentang prioritas ini, kebanyakan responden akan menggunakan kata kunci “bingung” sebagai bagian dari penjabaran jawaban yang diberikan. “Bingung harus milih yang mana”, “bingung sekarang mau jalan kemana”, “bingung antara mengedepakan keinginan, kebutuhan atau tanggung jawab”, dll.

Kegundahan saya pun perlahan mereda karena saya jadi banyak berdiskusi dengan teman-teman saya. Bertukar perspektif lewat kegundahan yang sama. Bukan cuma saya yang saat ini pikirannya sedang semrawut dalam menemukan dan menentukan arah hidup, jati diri, dan keinginan.

Okay, untuk sebagian orang konsep quarter-life crisis mungkin akan terdengar seperti sebuah justifikasi konyol atas perilaku atau habit buruk yang dilakukan seseorang di masa mudanya. Tapi percayalah bahwa Quarter-Life Crisis merupakan suatu wujud tahap hidup yang nyata dan dialami oleh sebagian besar populasi masyarakat di usia dewasa awal, yaitu 18–40 tahun. Erik Erickson, a renowned developmental psychologist, berteori bahwasanya individu berkembang secara psychosocial melalui 8 tahap (infancy, toddler, childhood, early adolescence, late adolencence, early adulthood, middle adulthood, late adulthood & old age). Yang dimana ketika seorang individu gagal menyelesaikan tugas dalam suatu tahap maka tugas tersebut akan menjadi beban pada tahap perkembangan berikutnya.

In this Quarter-Life Crisis case kita bisa lihat bahwa tugas melakukan pencarian jati diri termasuk pada tahap Late Adolescence yang dimana ketika kita tidak berhasil menyelesaikan tugas pencarian jati diri di tahap tersebut maka tentu impact nya akan menjadi beban kita ketika memasuki babak Early Adulthood bersamaan dengan tugas-tugas lainnya yang harus kita selesaikan di tahap tersebut.

Setiap orang punya teknik coping stress yang berbeda-beda dan standar benar-salah pun relatif. Kamu bisa baca banyak artikel dan jurnal di luar sana yang membicarakan tentang Quarter-Life Crisis dengan pemahaman yang lebih teoritis.

Lalu, “Hal essential apa sih yang sebenarnya perlu dilakukan di masa seperti ini?”

  1. Perbanyak wawasanmu dengan membaca literatur apapun yang termasuk kedalam label “Self-Improvement”.

For example:

  • The Turbulent Twenties Survival Guide by Marcos Salazar.
  • Gratitude and Trust: Six Affirmations That Will Change Your Life by Paul Williams and Tracey Jackson.
  • Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-Being by Martin Seligman.
  • You Are a Badass: How to Stop Doubting Your Greatness and Start Living an Awesome Life by Jen Sincero.

2. Pahami apa yang kamu inginkan dan apa yang tidak kamu inginkan.

3. Sabar dan terus menerus ingat bahwa setiap orang punya pola perputaran roda nya masing-masing.

4. Optimis dan percaya pada kemampuanmu sendiri. Terkadang Quarter-Life Crisis juga disebabkan karena kita terlalu degrading diri sendiri. Takut untuk keluar dari comfort-zone, takut untuk mengambil peluang akibat resiko yang ada dibelakangnya, takut untuk gagal, takut akan kapabilitas diri yang tidak seberapa. Well, I say, don’t be a fucking coward. You only have one shot at life, so take aim, breathe and shoot. If you missed it, then take another aim and shoot again. Don’t stop shooting until you hit the right target. You got plenty of bullets in your pocket, why waste it on nothing?!

Akhir kata, saat ini saya sedang berada di arum jeram yang berjalan non-stop mengikuti arus air. Baju basah kuyup, kedinginan dan melaju dengan tempo kecepatan yang tidak menentu. Saya berharap dapat secepatnya menemukan dayung agar saya dapat mengayuh sampan saya sesuai dengan arah dan tempo kecepatan yang saya inginkan.

Saya berharap juga siapa pun kamu yang membaca tulisan ini dan sedang berada di arum jeram yang sama, semoga kamu tidak menyerah untuk menemukan dayungmu sendiri. Semua orang punya timeline dan arus hidupnya masing-masing. Tempo kecepatan yang lambat bukan berarti kamu telambat dan berusaha mencari arah bukan berarti kamu kehilangan arah.

With love,
R

--

--

Riza Putri
Riza Putri

Written by Riza Putri

Neither a bard nor a novelist. Crafting stories from the fragments of the mundane. Just a lover of the written word in its freest form.

No responses yet