Jeda
Celaka bila terlalu mencintai, karena segala yang berawal dari “terlalu” memang biasanya tak berakhir asri; ekspektasi awal yang melambung tinggi, dan realita yang ternyata jauh dari apa yang diprediksi.
Lalu aku tetap terlalu mencintainya sepenuh hati, meski tahu bahwa ini akan berakhir tak pasti. Akhirnya kini aku yang menanggung sedih dan kecewa sendiri.
Berjuang melewati kemarau, musim dingin, perbedaan jarak dan waktu, bahkan gempa gempita. Ada duka yang diiringi dengan suka. Selalu bersama seterusnya. Tapi, aku sadar bahwa terkadang memang tak semua orang bisa menghargai apa yang telah kita perjuangkan untuknya, sampai akhirnya pergi adalah satu-satunya cara.
Pergi untuk menenangkan raga, pergi untuk menyembuhkan jiwa.
— Yang ditinggalkan tak cuma satu nama, punya list dan agenda yang berbeda. Tetap berbondong acung tangan siapa yang siap membela.
“Masalahnya buka itu,” gumamku dalam sendu. Ia berpaling, menenggelamkan wajah dengan tatapan pilu. Aku cuma bisa menatap kosong dan bertutur lembut tanpa ragu. “Ini soal kesehatan batinku,” kembali ku bersua lirih, menghitung waktu.
Aku akan kembali meski tak sekarang ini. Suatu saat nanti aku janji. Saat matahari tak lagi cemberut atau bermuram pasi. Saat angin bertiup manja dengan nada Si. Saat petang dini hari, atau mungkin esok pagi.
With love,
R