Standar Kecantikan Asia

Riza Putri
6 min readDec 27, 2021

--

Source: byrdie.com

Seperti gadis lainnya, saya dibesarkan di rumah yang penuh dengan majalah kecantikan dan siaran televisi tentang kontes kecantikan yang menggambarkan bagaimana kecantikan wanita di dunia dirayakan dan saling “diadu”. Salah satu siaran kesukaan saya adalah Miss Universe. Saya belajar bagaimana pentingnya menjadi ‘wanita cantik’ karena menjadi cantik dapat dipuja-puja seisi dunia.

Di Asia, wanita dikatakan cantik atau ideal jika memiliki warna kulit putih khas “Asia” dengan perpaduan fitur ciri khas Eropa/Barat, seperti hidung mancung, mata almond atau mata bulat, rahang tegas, dan tubuh tinggi nan langsing.

Tumbuh dewasa, saya semakin terbuka dengan dunia luar. Citra ‘wanita cantik’ perlahan berubah menjadi pertanyaan. Apakah standar kecantikan sebegitu sempitnya dan hanya bisa ditentukan dari kulit putih, hidung mancung, mata lebar, dan tubuh tinggi & langsing?

Saya lahir, tinggal dan besar di Indonesia. Negara Asia Tenggara yang berada tepat di antara garis khatulistiwa dan beriklim tropis. Sehingga warna kulit wanita lokal kebanyakan berwarna coklat dan kuning langsat. Meski begitu, tak sedikit pula wanita yang dikaruniai warna kulit porselen putih ‘khas Asia/Barat’. Ciri-ciri fisik di Indonesia juga sangat beragam. Tidak semua orang memiliki hidung mancung, mata lebar, dan tubuh tinggi nan langsing. Lantas, tidak bisakah mereka dikatakan cantik atau ideal?

Sejarah Standar Kecantikan Asia
Sejarah standar kecantikan Asia dapat ditelusuri kembali ke ratusan tahun yang lalu dan sebagian besar terkait dengan masa kolonialisme. Selama Zaman Eksplorasi (dari abad ke-15 hingga abad ke-18), orang-orang Eropa berkeliling dunia dengan tujuan memperluas kekuasaan mereka dan menaklukkan wilayah asing untuk mendapatkan tanah dan sumber daya. Wilayah asing ini dijajah dan dieksploitasi. Gesekan kultur pun terjadi antara penjajah dan yang dijajah. Orang Eropa mempromosikan citra orang Asia sebagai “berbeda” dalam konotasi primitif dan tidak beradab, sementara orang Eropa dipandang sebagai elit. Akibatnya, kecantikan Asia disejajarkan dengan cita-cita kecantikan Eropa; kurus, tinggi dan kulit putih.

Menurut seorang Sosiolog asal Amerika Serikat, Maxine Craig (2006) berpendapat bahwa kecantikan secara inheren diatur pada hierarki rasial yang mengkategorikan kelompok individu sebagai ‘cantik’ tergantung pada norma yang ada di sekitar mereka. Sehingga berdasarkan perspektif ini, saya memandang standar kecantikan sebagai ekspresi hubungan rasial dalam konteks budaya tertentu.

Warna kulit secara historis dikaitkan dengan status sosial karena warna kulit adalah salah satu cara untuk menunjukkan status sosial seseorang. Memiliki kulit yang lebih gelap menunjukkan status sosial yang lebih rendah karena orang-orang dari kelas itu umumnya harus bekerja berjam-jam di bawah sinar matahari untuk mencari nafkah. Di sisi lain, orang dengan kulit lebih terang cenderung kaya karena mereka tidak harus bekerja dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka di dalam ruangan.

Konsep ini terutama berlaku di Asia Selatan dan Tenggara, hingga hari ini. Faktanya, konsep ini terus beresonansi dan terinternalisasi kepada masyarakat sejak usia muda. Tentu sulit untuk melepaskannya, apalagi karena dipengaruhi dan diperkuat oleh pemikiran kelompok mayoritas. Padahal standar kecantikan bervariasi antara periode waktu, komunitas sosial dan budaya atau ras. Sehingga memberikan tolak ukur yang homogen tidaklah masuk akal.

Kecantikan Masa Kini: Kulit Putih & Fitur Wajah Sempurna
K-beauty, operasi plastik dan pemutihan kulit yang kini menjadi sensasi global merupakan industri yang berkembang pesat sebagai respon masyarakat terhadap standar kecantikan Asia. Sebuah survei dari World Health Organization (WHO) menyimpulkan bahwa 40% wanita di Cina, Malaysia, Filipina dan Korea Selatan menggunakan produk pemutih kulit secara teratur. Beberapa produk ini terbukti mengandung bahan kimia beracun dan memiliki efek berbahaya, tetapi orang tetap mengambil risiko dan menggunakannya.

Industri ini memperburuk standar kecantikan Asia dengan mendorong wanita untuk mengesampingkan kesehatan dan mengambil langkah-langkah ekstrem untuk ‘memperbaiki’ penampilan mereka dan terlihat sempurna. Pada tahun 2025, industri ini bahkan diperkirakan bernilai $715 miliar. Sementara itu di Indonesia sendiri, pada 2022 diperkirakan dapat mencapai $8,4 miliar.

Kecantikan Masa Kini: Bentuk Tubuh
Selain warna kulit dan bentuk wajah, mengikuti citra tubuh kurus dan ideal adalah hal yang juga menjadi fokus dari standar kecantikan Asia. Di Barat, gerakan body positivity kini sudah semakin meluas dan dipromosikan oleh berbagai macam brand, selebriti, dan influencer. Sayangnya, standar untuk memiliki tubuh kurus dan ideal masih belum dapat lepas di Asia. Media tidak mempromosikan kepositifan tubuh dan orang-orang bertubuh besar atau “tidak ideal” masih seringkali diejek. Bahkan ketika selebriti Asia bertambah gemuk, masyarakat akan membahasnya secara terbuka dan mengejeknya di kolom komentar. Misalnya, selebriti Korea yang plus-sized tidak dilihat menarik dan malah diolok-olok karena ukurannya. Oleh karena itu, mereka seringkali ditekan untuk mempertahankan citra tubuh yang kurus.

Ada sangat sedikit model plus-sized di Asia dan agensi model Asia cenderung menghindari orang dengan berat badan di atas rata-rata. Pada tahun 2018, Marie Claire menerbitkan daftar model plus-sized paling terkenal di dunia, dan hanya ada satu wanita Asia dalam daftar, yaitu Nadia Aboulhosn (model & blogger berdarah campuran Lebanon-Amerika). Padahal, menampilkan lebih banyak model plus-sized di media Asia akan menunjukkan kepada kaum muda bahwa mereka tidak harus kurus untuk menjadi cantik dan akan membantu membongkar standar kecantikan yang saat ini sedang dipromosikan.

Bukan hanya ukuran tubuh gemuk saja yang menjadi fokus pembahasan, tetapi kini orang juga seringkali menilai tubuh yang terlalu kurus, terlalu tinggi, terlalu pendek, terlalu tidak berbentuk, terlalu berisi, payudara kecil atau payudara besar. Dan hal ini merupakan masalah kompleks yang nyata dan dialami oleh wanita dimana-mana, bukan hanya selebriti saja.

Pengaruh Media pada Persepsi dan Identifikasi Individu
Standar kecantikan Asia juga memiliki konsekuensi negatif dan implikasi sosial yang luas melalui peranan media sosial. Media sosial telah merasuki banyak aspek kehidupan kita, tidak terkecuali persepsi kita tentang kecantikan. Pengaruh yang semakin besar pada gadis-gadis muda yang terus-menerus mengikuti apa yang sedang tren.

Berbagai aplikasi photo editing dan filter yang disuguhkan oleh plaform online mendorong wanita untuk terlihat “sempurna” di depan kamera. Orang akan bolak balik mengedit foto mereka terlebih dahulu sebelum mereka memposting foto tersebut demi mendapatkan likes dan komentar yang banyak. Penelitian ilmiah juga telah membuktikan bahwa terdapat korelasi antara jumlah likes dengan pandangan individu terhadap harga diri atau self-esteem mereka sendiri. Semakin banyak jumlah likes dan komentar positif yang didapat maka semakin tinggi mereka memandang harga diri mereka, sayangnya begitu pun sebaliknya.

Di ujung lain dari spektrum tren adalah gerakan #iwokeuplikethis, #nomakeup, dan #nofilter yang mendorong pendekatan kecantikan yang alami atau apa adanya. Tapi, seberapa banyak jumlah wanita yang betul-betul mengunggah foto wajah mereka apa adanya tanpa bantuan photo editing atau filter?

Laporan berita dan penelitian yang tak terhitung jumlahnya telah menunjukkan bagaimana media sosial dapat berdampak negatif pada harga diri seseorang, terutama di kalangan gadis-gadis muda. Sosial media mempromosikan perbandingan sosial dan membangun perasaan iri, rendah diri dan insecure. Menurut sebuah penelitian terhadap hampir 1.500 remaja oleh Royal Society for Public Health Inggris, Instagram adalah jaringan media sosial terburuk untuk kesehatan mental dan kesejahteraan.

Standar kecantikan kolonial yang kuno dan tidak masuk akal masih berlaku di masyarakat Asia saat ini dan diperburuk oleh media dan budaya konsumerisme, sehingga memunculkan industri baru yang memasukkan cita-cita beracun dan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental.

Meski begitu, industri kecantikan tampak membuat kemajuan secara perlahan dalam mencapai keragaman yang lebih besar. Pada tahun 2016, sebuah kampanye global di media sosial #unfairandlovely diluncurkan untuk mengkritik brand “Fair and Lovely,” yang terkenal dengan iklan kotroversial yang menampilkan model berkulit gelap yang digambarkan sebagai kesepian dan tidak diinginkan, sementara model berkulit lebih terang menarik kesuksesan dan kebahagiaan. Tak lama setelah itu, “Fair and Lovely” berganti nama menjadi “Glow and Lovely” — langkah kecil ini tentu menjadi pemantik yang dapat dilakukan untuk mengatasi standar kecantikan beracun di Asia yang lebih luas.

Namun, tidak cukup hanya mengubah nama produk pencerah kulit sambil tetap melestarikan sikap yang berkontribusi pada demand dari produk sejenis. Harus ada representasi yang lebih besar dari model berkulit gelap atau bertubuh plus-sized yang disorot di industri kecantikan Asia, dan bisnis harus memegang standar etika yang lebih tinggi dalam hal produk dan iklan mereka. Saat kita secara kolektif mencoba untuk membuka pikiran dan melupakan standar kecantikan kolonial kita membuka jalan ke era baru kecantikan, era yang merangkul keragaman ras, fitur dan ukuran alami kita, sehingga suatu hari, gadis-gadis muda akan melihat ke cermin dan melihat fitur unik mereka sebagai sesuatu yang layak dirayakan.

With love,
R

--

--

Riza Putri
Riza Putri

Written by Riza Putri

Neither a bard nor a novelist. Crafting stories from the fragments of the mundane. Just a lover of the written word in its freest form.

Responses (2)